Senja Sendu : Ayah, Ibu, Aku Rindu (1)

 

Dahulu,

terseret aku di atas batu

Kanan? Kiri?

Masih buta aku rasanya

Tuli aku dengan suara

Kini,

ceritaku mencarimu telah dibukukan, Ayah

Hingga mentari tahu,

ini dari Aksa untuk Ayah

***

Sudah hampir 2 jam, wanita itu berdiri di depan pintu kamar putranya. Kupingnya menempel di badan pintu. Sepertinya dia sedang menguping. Kaki kurusnya seakan lemah, menjatuhkan lutut ke atas lantai. Bunyi yang dihasilkan memang tidak besar, namun bisa menyadarkan sang anak--di dalam kamar--mengenai keberadaan ibunya.

Belum sempat merapikan barang yang sedari tadi dibacanya, sang ibu membuka pintu secara tiba-tiba. “Bodoh,” ucap ibu saat memasuki ruang kamar Aksa. Senyum miringnya membuat akal Aksa melayang jauh. Kalau udah gini, ibu pasti marah—pikirnya.

Seketika, ibu merebut—secara paksa—buku kecil yang Aksa pegang sejak 2 jam yang lalu. Dibacakannya secara pelan nama sang penulis. Tak lama, buku itu mendarat di kepala Aksa dengan bunyi hantam yang sangat kuat. Ditamparkannya buku itu berkali-kali ke kepala Aksa. Tak jarang pula dia turut mengucapkan kata “Bodoh” seakan-akan sedang mencaci sang anak.

Setelah sekitar 10 kali tamparan, dilemparkannya buku itu ke atas lantai. Ia keluar dan membanting pintu. Air mata Aksa menetes. Ditatapnya lamat-lamat buku yang menjadi alat ditamparnya tadi. “Ayah salah apa sama ibu, sampai ibu jadi kayak gini?”.

***

Ayah Aksa adalah seorang penulis puisi. Beliau bernama Askara Biru. Biasa dipanggil Biru.  Askara, menurut bahasa Sansekerta, memiliki arti cahaya. Sedangkan, biru adalah warna dari chakra di tenggorokan yang selalu bicara benar, jujur, dan mudah dimengerti.

Karya-karyanya telah dibukukan dan terhitung sangat laris di pasar penjualan. Namun, masa kejayaan beliau hanya berlangsung selama 3 tahun. Di tahun pertama beliau meraih prestasi, beliau menikah dengan seorang wanita muda bernama Linda—ibu Aksa. Di pertengahan tahun ke-2, beliau mendapati istrinya mengandung seorang anak laki-laki. Sejak saat itu, sifat beliau mulai berubah. Tak lupa, kandungan puisinya pun turut berubah—menjadi lebih gembira. 2 bulan sebelum Aksa lahir, Biru telah memikirkan nama untuk anaknya. “Aku ingin menamainya Damar Perwira Aksara,” ucapnya kepada sang istri. Damar memiliki arti pelita, Perwira memiliki arti berani, dan Aksara—menurut bahasa Sansekerta—memiliki arti kekal.

1 bulan berlalu, setelah Aksa lahir. Kabar tak mengenakkan terdengar oleh Linda melalui acara gosip di televisi. Linda—yang sedang menyetrika—seketika terkejut mendengar judul topik gosip hari itu. “Penulis puisi tanah air yang baru saja memiliki anak, Askara Biru, tertangkap basah oleh salah satu penggemarnya sedang berdua-duaan di sebuah club bersama penari luar negeri?” ujar sang pembawa acara. Mendengar hal tersebut, sungguh, Linda sangat geram. Ditunggunya Biru hingga dia pulang di larut malam.

            Jam menunjukkan pukul 12 malam. Aksa sudah terlelap di atas ranjang putih miliknya. Tatapan Linda—yang gelisah—masih belum berkutik dari handphone miliknya sejak pukul 9 malam tadi. Terus dicarinya berita mengenai tertangkapbasahnya sang suami di club dekat rumah mereka. Tak begitu lama, sang suami yang ditunggu pun pulang. Belum sempat Biru mendaratkan pelukan ke tubuh Linda, tangan Linda sudah mendarat terlebih dahulu di atas pipi Biru. Alhasil, suara tamparan yang begitu keras mampu membangunkan Aksa dan membuatnya menangis.

            Semenjak saat itu, puisi bahagia Biru tentang keluarganya telah musnah. Tak jarang terdengar gosip tentang akan bercerainya Linda dengan Biru. 4 bulan berlalu. Kobaran api—yang muncul sejak Aksa berumur 1 bulan—belum kunjung padam. Hingga pada akhirnya, tepat saat perayaan 6 bulan Aksa lahir, Biru minggat dari rumah dan pergi bersama sang penari luar yang sejak dulu dirumorkan sudah dekat dengannya. Menurut gosipnya, Biru bersama istri barunya tersebut pergi ke luar negeri dan membangun keluarga baru di sana.

            Sejak itu, dendam Linda yang tak kunjung surut—terhadap Biru—ia lampiaskan kepada anaknya. Wajah bulat, mata hitam, bibir merah, alis tebal—milik Aksa—dianggap sangat mirip dengan Biru oleh sang ibu. Ditambah lagi, cita-cita Aksa sejak kecil—untuk menjadi seorang penulis terkenal—sangat mengingatkan sang ibu terhadap suaminya. Maka tak heran, bahwa Linda sering kali menyiksa anaknya. Terutama pada saat Aksa melampiaskan kecintaannya pada puisi dengan membaca karya-karya milik sastrawan-sastrawan terkemuka. Termasuk ayahnya.

***

            Waktu terus berlari. Hingga pada akhirnya, Aksa kecil telah remaja. Tak ada ucapan selamat untuknya yang berulang tahun hari ini. Teman-teman di sekolah mengucilkannya dengan memanggil Aksa dengan julukan “si kutu buku”. Ibunya? Jangan ditanya. Kerjaannya hanya menonton  televisi seharian tanpa mau diganggu. Uang yang selama ini dia dapatkan adalah hasil sumbangan dari kakaknya yang merupakan seorang direktur sebuah perusahaan besar.

Seperti burung-burung yang bernyanyi,

aku ingin bebas.

Seperti laba-laba yang membuat jaring,

aku ingin bebas.

Seperti semut-semut yang bercengkrama,

aku ingin bebas.

Tuhan?

Adakah daya dari-Mu untukku bisa rasakan itu?

Tuhan?

Bisikkan ibuku tentang hal itu.

Tuhan?

Itu permintaan hadiahku untuk tahun ini.

Aamiin..

            Tulisnya di atas kertas buram yang lalu ia lipat sehingga berbentuk layaknya pesawat. Perlahan, dibukanya jendela hingga sejuknya angin meniupkan rambut hitam lebat miliknya. Seakan menyapa, ranting pohon tinggi milik tetangganya melambai-lambai tertiup angin. Tetes gerimis air hujan, juga menyambut wajahnya yang putih nan bersih.

“Tuhan, balas aku, ya?” ucapnya sambil membebaskan pesawat—dari kertas buram—yang telah dibuatnya tadi. Ia tatap pesawat itu lamat-lamat hingga akhirnya ia hilang dari pandangan. Kemudian, ditutupnya jendela pelan-pelan agar tidak membangunkan ibu—yang siapa tahu tidur.

Seketika, terdengar bunyi yang sangat keras dari luar kamar. Suara gelas pecah? Pikir Aksa. Bergegas, ia pergi ke arah sumber suara. Ditengoknya, mulut sang ibu sudah berbusa. Tubuhnya yang terbaring kaku—kejang-kejang—membuat Aksa terkejut. Cekatan, diambilnya telepon rumah yang biasa ibu pakai untuk bercengkrama dengan kawannya. Tak lupa, dicarinya pula nomor telepon sang paman yang biasa mengirim uang untuk mereka.

Tak berapa lama, sang paman datang. Mata amukan dan kesedihan sudah berkobar sedari tadi. Dirinya terkejut mendapati Aksa sedang bersimpuh di samping Linda sambil meneteskan air mata. Tangannya meremas kertas buram dan pensil. “Ibu menyuruhku membuat puisi sebelum pingsan,” jelasnya kepada paman. “Namun sekarang, aku rasa aku terlalu sedih untuk melakukannya,” lanjutnya. Sejak 10 menit yang lalu, Linda sudah tenang. Tubuhnya lemas. Serta matanya masih belum terbuka.

Segera, sang paman—dibantu sepupunya—menggotong Linda untuk masuk ke dalam mobil. Diletakkannya kepala Linda di atas pangkuan sang anak. Genggaman tangan Aksa tak bisa berhenti meremas tangan sang ibu. Dari matanya, juga mengalir deras air mata. Mulutnya tak berhenti berkata, “kita sudah sampai?”. Di mobil, Linda sempat terbangun dan menanyakan kepada Aksa tentang keselesaian puisi yang dimintanya. Semenjak saat itu, mata Linda tidak berhenti menatap Aksa yang sedari tadi panik. Senyum ramah—yang dulu sering ia tunjukkan sebelum bercerai—terus terukir di mulutnya.

Kini, mereka berada di ruang UGD. Dokter berkata bahwa ini adalah saat terakhirnya. Mata Aksa—yang sekarang bengkak—tak berhenti menatap ibunya yang terbaring lemah di atas kasur. Tangannya masih menggenggam erat tangan sang ibu. Seraya berkata, “Ibu bertahanlah. Aku mau hidup bersama Ibu.” Hal tersebut hanya dibalas senyum oleh sang ibu. Lembut tangannya terus mengelus pipi sang anak. Matanya sudah mulai kabur, seakan nyawa sudah di ambang batas.

Seketika, sang paman—yang berdiri di samping Aksa—berkata, “puisi. Ibumu menunggu puisi.” Aksa menggeleng dengan kuat atas apa yang dikatakan pamannya. Aksa tahu, apabila dia membuat puisi, maka ia harus menulis—melepaskan tangan ibunya. Seakan tahu yang dipikirkan oleh si keponakan, paman segera mengambil kertas buram dan pensil yang telah Aksa bawa. “biar Paman tuliskan.”

Mawar Merah Menjadi Putih

 

Kemarin,

ia merah.

Segar, gembira,

aku tak perlu khawatir.

Durinya begitu tajam.

Bahkan, menatapnya saja aku tak berani.

 

Kemarin,

 bunga mawarku begitu indah.

Setiap hari kuperhatikan.

Jangan sampai dia layu!

Aku tak sudi!

Dia kesayanganku!

 

Namun sekarang,

apa daya?

 Bunga mawarku,

kian melayu.

 

Merahnya ditelan putih.

Durinya ditelan detik.

 

Terbaring ia di atas kasur UGD,

dihadapanku,

saat ini.

 

Senyumnya lembut,

tiada duri yang ditampakkan

 

Teruntuk mawar :

Setiap kata indahku adalah untukmu, Ibu.

Terima kasih,

mohon maaf,

dan tetaplah menjadi mawar merah.

 

Ibu indah apa adanya.

           

            Tak berapa lama, mata Linda akhirnya terpejam. Badannya sudah dingin, juga kaku. Linda meninggal tepat di hari ulang tahun Aksa. Memang, Linda belum sempat mengucapkan selamat ulang tahun kepada Aksa, namun Aksa memaafkan hal tersebut. Tanpa disadari, Aksa memang sudah menyayangi sang ibu sedari dulu. Walau bagai beribu duri, sang ibu tetaplah mawar di mata Aksa. Khawatirnya memang selalu diberikannya kepada sang ibu. “aku akan merindukanmu, Ibu,” gumamnya di saat terakhir ia melihat sang ibu.

Komentar