Senja Sendu : Ayah, Ibu, Aku Rindu (2)
Sekarang, Aksa
menjadi seorang piatu yang dirawat oleh pamannya. Pamannya mengerti tentang
kecintaan Aksa kepada puisi. Sehingga, sang paman senantiasa mendukung Aksa
menggapai cita-citanya. Ia bahkan sering kali memberi Aksa selembar brosur
mengenai perlombaan menulis puisi. Namun Aksa menolaknya. Ia masih berpikir bahwa
puisi adalah hal yang dibenci oleh ibunya—maka ia harus membencinya juga.
Hingga akhirnya, di suatu siang yang
cerah, Aksa sedang duduk di atas kursi teras rumahnya. Hari ini hari Sabtu dan
ia memilih bermalas-malasan di rumah. Hingga pada akhirnya sang paman seketika
saja melempar selembar foto ke depan Aksa. “hari Sabtu kok di rumah saja? Cari
asal usul ayahmu, yuk?” ujarnya.
Ditatapnya foto yang tadi dilempar
oleh sang paman. Rupanya, itu adalah foto keluarga Aksa saat Aksa baru lahir.
Sang ibu—yang terbaring di atas tempat tidur—sedang menggendong Aksa kecil dan
ayah berdiri di samping tempat tidur. “boleh. Caranya?” balas Aksa. “pikirkan
sendiri. Paman tak ingin ikut,” balas sang paman yang lalu masuk kembali ke
dalam rumah.
Sambil kembali menatap foto, Aksa
mulai menyusun rencana dalam otaknya. “gunakan puisimu untuk mempermudah
mencari ayah,” teriak paman dari dalam rumah. Seketika saja, Aksa mendapat ide
mengenai hal tersebut. Dirapikannya baju-baju ke dalam tas ranselnya. Ia
berpikir untuk pergi sementara dari rumah dan mencari tahu hal-hal mengenai
sang ayah.
Di malam hari, seketika Aksa
berteriak secara lantang. “Paman, aku berangkat! Beberapa hari lagi aku akan
pulang. Doakan aku!”. Tak mendengar balasan, Aksa tetap melanjutkan perjalanan.
***
Malam dingin, aku mencari
tak beruang, tak berbekal
Burung hantu malam,
yang temani
aku di sini,
boleh kau cari tahu dimana ayahku?
Dari Aksa, untuk Biru
Ia tempelkan
kertas putih—yang tadi ia pakai untuk menulis—ke salah satu pohon di dekat ia
bersinggah. Kemudian, disalinnya tulisan tersebut di atas kertas baru, sehingga
menjadi banyak. Setelah terkumpul, ia tempelkan kertas tersebut ke tiang atau
pohon atau dinding yang ia lewati malam itu—masing-masing 1. Ia harap seseorang
yang mengetahui keberadaan sang ayah akan datang ke rumahnya untuk memberi tahu
mengenai hal tersebut.
Langkah 1,
langkah 2, hingga ribuan, telah Aksa jalani demi menemukan sang ayah. Letih
telah menjadi beban Aksa selama ini. Setiap malam, ia selalu membangun puisi
baru untuk sang ayah. Ia tak menyerah. Hingga ke ujung dunia pun dia akan
berlari—bila itu diperlukan.
Merenung daku di
bawah bulan
Purnamanya
indah,
Mengingatkanku
kepada ibu.
Ayah,
Apa engkau tahu
ibu telah pergi?
Sejuknya angin
seakan mengatakan
“Bahkan bulan
tahu, kamu sedang rindu”
Dari Aksa, untuk
Biru
***
Hingga suatu saat, Aksa mendengar
pembicaraan ibu-ibu mengenai dirinya. Hanya saja, pembicaraan tersebut malah mengarah
ke destinasi yang tidak benar. Seorang ibu yang mengenakan daster merah sempat
berkata bahwa puisi tersebut adalah pesan berantai dari seorang pembunuh.
Hingga pada
akhirnya, seorang ibu berambut merah mulai mengatakan dan mencurigai bahwa Biru
yang dibicarakan adalah nama seorang penulis yang cukup terkenal. Ibu itu juga
berkata bahwa Aksa adalah nama dari anak lelaki sulungnya. Namun nahasnya, Aksa
malah diejek oleh ibu-ibu lainnya dengan mengatakan bahwa Aksa adalah anak
buangan. Begitu juga ibunya, ibu-ibu mengejeknya dengan sebutan istri buangan.
Tentu saja, Aksa
merasa geram mendengar hal tersebut. Karena tak ingin mengamuk, ia memutuskan
untuk pergi dari daerah itu secepatnya. “mulut kayak petasan. Untung gak
meledak,” ujarnya sebal seraya bangkit dari atas trotoar. Ibu-ibu sempat
menengok ke arahnya ketika Aksa mengucapkan kalimat tersebut.
Sudah 2 minggu
Aksa belum pulang ke rumah. Tasnya sudah mulai sepi oleh baju—yang kian
berkurang—karena ia jual satu per satu demi mendapat makanan sehari-hari.
Dengan hanya berbekal baju dan alat tulis, ia merasa bersyukur bisa sampai
sejauh ini. Ia harap, keajaiban akan datang kepadanya segera.
Tibalah saatnya
ia sampai di sebuah kantor polisi. Entah mengapa, ia merasa ingin untuk
menelepon pamannya. Alhasil, ia pun meminjam telepon di kantor polisi tersebut
dan mulai menekan nomor telepon rumahnya. Suara serak khas pamannya, menyambut
di seberang sana. Suaranya bertambah gembira saat mengetahui yang menelepon
adalah keponakannya. Tanpa panjang lebar, sang paman menyuruh Aksa pulang
dengan segera—dikarenakan ada kejutan yang sedang menunggu.
***
Sesampainya di
rumah, ia terkejut mendapati seorang wanita berparas cantik dengan rambut
pirang dipotong pendek seperti laki-laki. Ia juga membawa ke-2 anaknya—perempuan
dan laki-laki—dan seorang bayi tampan yang sedang di gendongnya. Aku merasa, bayi laki-laki itu mirip
denganku saat bayi—di foto keluarga pemberian paman.
Tak mau
terburu-buru, Aksa memutuskan untuk meletakkan tas ranselnya ke dalam kamar dan
berganti baju terlebih dahulu. Firasatnya tidak enak. Setelah beberapa menit,
ia baru kembali dan mulai bercengkrama dengan si wanita bule. Rupanya, ia telah
tinggal di Indonesia selama belasan tahun. Hal tersebut dibuktikannya dengan
berbahasa Indonesia secara fasih.
Tak lama
setelahnya, wanita bule tersebut baru mengakui bahwa ia adalah istri ke-2 dari
ayah Aksa. Ia adalah penari wanita yang kabur bersama Biru dan membentuk
keluarga baru di luar negeri. Sungguh, Aksa sangat murka saat mendengar hal
tersebut. Kali ini, Aksa tidak memandangnya secara ramah—melainkan kebencian.
Ia merasa, wanita itulah yang menghancurkan keluarganya.
Belum sempat
untuk mengusir, seketika saja wanita itu menangis. “Biru sudah meninggal, Sa,”
ucapnya bergetar sambil menyerahkan selembar kertas berisi puisi Aksa yang
beberapa hari lalu ia tempel di salah satu pohon yang ia lewati. Rupanya, ia
menemukan lembaran tersebut dan bergegas kemari untuk menemui Aksa. Ia tak
menyangka bahwa Aksa masih mencari Biru. “Biru meninggal secara tragis dalam
perjalanannya menuju ke Indonesia untuk mencarimu, Aksa. Dan meminta maaf
kepada ibumu. Malam itu, terjadi badai besar yang menjatuhkan pesawat yang
dinaikinya menuju air laut,” jelasnya. Ia juga menambahkan, bahwa makam Biru
berada tidak jauh dari makam ibunya—nenek Aksa—di Indonesia.
Aksa lemas
mendengar hal tersebut. Apa yang diimpikannya selama ini telah pupus. Sesosok
ayah yang dibayangkannya kini telah tiada. Ia hidup tanpa seorang ayah. Di
tengah lamunannya, seketika sang ibu tiri berkata, “aku rasa aku memang tak
pantas melakukan hal ini, namun aku bisa menjadi ibumu. Apa kau mau? Hanya itu
yang bisa kulakukan untuk membuatmu lebih baik. Kami minta maaf.”
Tak ada balasan,
ditatapnya sedalam mungkin mata sang ibu tiri. Senyumannya mengingatkan Aksa
kepada Linda. Kemudian, ditatapnya pula ke-2 adik tirinya yang kini sedang
makan roti di samping paman. Dan yang terakhir, bayi di pelukan sang ibu tiri.
Melihatnya tertidur lelap membuatk berpikir tentang alangkah indahnya tentang
memaafkan. Indahnya melupakan, dan kembali bersama. Memang sudah tak utuh,
namun Aksa percaya, Tuhan selalu memberi hal terbaik kepada hamba-Nya. Dan
keluarga, adalah salah satunya.
***
Tentang apa yang
dahulu terjadi,
kemarin terjadi,
sekarang
terjadi,
esok akan
terjadi,
dan apa yang
kelak akan terjadi,
terima kasih
Tuhan,
atas sendu,
tawa, dan keluarga.
-Belva-
12 Oktober 2017
23:42
Komentar
Posting Komentar